KAMU BUKAN KAMU YANG KAMU PIKIRKAN
Untuk beberapa saat saya pernah mengunjungi beberapa negara dan tinggal di salah satu negara di antaranya. Saat itu hati saya hancur setelah hubungan saya tidak seperti yang saya harapkan. Awalnya saya kira bersama seseorang bisa membuat saya bahagia. Ternyata saya salah.
Banyak usaha yang sudah saya lakukan. Menghadiri kelas meditasi spiritual, workshop, dan lain sebagainya. Tujuannya satu, menemukan diri saya kembali. Saya merasa saya sudah kehilangan diri saya.
Mengapa saya menderita, Apa yang sebenarnya membuat kita begitu menderita? Lebih tepatnya bagaimana kita menciptakan penderitaan?
Kesadaran saya mulai muncul ketika di akhir hubungan saya. Saya menciptakan penderitaan saya sendiri dengan bertahan di hubungan yang beracun. Dengan berakhirnya hubungan saya, saya seperti dibangunkan oleh sebuah alarm. Alarm yang membuat saya sadar bahwa saya tidak cukup menghargai diri saya sendiri dengan tetap berada di hubungan yang penuh kekerasan
Dari sana saya belajar bahwa kita lah yang merancang hidup kita. Bukan orang lain. Bukan orang di luar kita. Namun kita sendiri. Kita yang berhak menentukan sejauh apa kita bisa menerima ketidaksempurnaan kita.
Kita yang menentukan bagaimana kita ingin bereaksi atas emosi yang terjadi pada diri kita. Ingin marah, sedih, cemas, takut, bahagia, atau merasa dicintai? Diri kita yang berhak menentukan itu semua. Bukan lingkungan kita.
Begitu juga rasa sakit dan menderita. Kita bagai dirigen dalam sebuah pertunjukan orkestra. Kita yang menentukan sisi mana dalam hidup kita yang terasa ‘false’ atau bagian mana yang ingin kita buat merdu.
Sayangnya, bertahun-tahun saya memilih menjadi false. False-self, mungkin itu istilah yang paling tepat untuk menggambarkan saya saat itu. Saya terperangkap di dalam ego saya sendiri.
The False Self: Delusional
The False Self menurut Donald Winnicott yang merupakan psychoanalis dan psikolog anak mengatakan:
“The False Self seperti persona diri palsu yang semua orang ciptakan bahkan sejak masa kanak-kanak. Tujuannya adalah melindungi diri mereka dari trauma dan stres yang ditimbulkan dari hubungan.
Mudahnya, the false self ini seperti kepura-puraan yang melindungi diri kita agar terlihat baik-baik saja.
Sadar atau tidak, saya dan kamu, sedari kecil sudah menciptakan persona kita masing-masing atau menjadi delusional.
Sejak kecil kita diajarkan untuk memenuhi tuntutan dari orang tua kita. Dengan mematuhi tuntutan orang tua kita menjadi disayang. Akhirnya kita terbiasa menjadi false jika ingin hidup bahagia
Karakter delusional ini akhirnya kita bawa hingga dewasa sekarang. Di sekolah, di kampus, hingga di meja kantor kita
Saya ingat di salah satu pekerjaan saya dulu saya harus memakai setelan jas setiap hari, memasang make-up sempurna, duduk di kubikel kantor, berbicara dengan orang-orang sesuai tone yang diajarkan kepada saya. Dan bersikap seperti bukan saya.
Saya tidak hanya kehilangan kebahagiaan saya, tetapi saya juga hampir lupa siapa saya
Namun untungnya tidak.
Saya berusaha mendengar suara batin saya dan memutus the false self dalam diri saya
Saya berusaha memahami kembali arti “saya” yang kemudian membawa saya ke konsep berikutnya
The Ego
Ego mu seperti seperti sebuah gelas yang bertahun-tahun terus diisi oleh opini dan anggapan tentang dirimu, dan yang paling sering adalah anggapan yang salah tentang dirimu, the false self.
Ego itu seperti teknik bertahan untuk melindungi diri kita. Ego juga terkadang menciptakan rasa insecure dan rasa ragu dalam diri kita yang seringnya mendapat validasi dari pihak luar.
Dengan begini ego dapat dibagi menjadi dua:
The Weak Ego
Ego yang lemah, ego yang susah untuk percaya diri. Kamu akan selalu memandang rendah dirimu dan cenderung menghancurkan dirimu dengan pikiran-pikiran negatif.
Lawannya the weak Ego adalah
The Big Ego
Ego ini selalu memerlukan validasi atau pujian dari orang lain. Tujuannya untuk menutupi rasa insecure dalam diri.
Hasilnya, kita menjadi terlalu bangga, merasa terlalu percaya diri, dan merasa paling berguna
Padahal, kedua ego ini berasal dari pondasi yang sama-sama rapuh: ingin menutupi rasa insecure
Lalu adakah solusi?
The True Self – Buang jauh topengmu
Melakukan pencarian the true self perlu dari dua sisi: psikologi dan spiritual
Dari sisi psikologi
Jika kamu ingin menjajaki the true self dari sisi psikologi, maka kamu sedang dalam perjalanan menemukan siapa kamu sebenarnya. Sebuah perjalanan yang tidak mudah, terkadang menyakitkan sebelum akhirnya membawa kamu ke kebebasan.
Semua pikiran dilusional mu akan dibuka, dan kamu akan diajak mengenali rasa takut, cemas, insecure, juga keberanianmu
Sebagai hasilnya kamu akan terhubung kembali ke suara batinmu, yang akan dan selalu tahu tentang apa yang terbaik bagi dirimu dan orang di sekitarmu.
Dengan menemukan the true self melalui perspektif psikologi, kamu juga sedang membangun ego yang sehat. Ego yang tidak memiliki batasan antara kamu dan orang lain, ego yang tidak membuat kamu menjadi judgmental, ego yang lebih nyata.
Jika dari sisi psikologi tidak membantu, cobalah dari sisi spiritual
Dari sudut pandang spiritual, ego adalah konstruksi artifisial dari potongan-potongan informasi yang telah kamu kumpulkan selama bertahun-tahun.
Disebut artifisial karena jika tidak dijaga dengan baik, maka akan hancur
Nah inilah konsep spiritual, yang memang seharusnya hancur, maka akan hancur. Apakah kamu ingin menjaga ego mu?
Di saat kamu tidak menjaga egomu, timbulah yang disebut penderitaan.
The True Self dari sisi spiritual itu seperti pengamat. Kita hanya mengamati perasaan, pikiran, dan emosi dari luar. Dengan mengamati kita menjadi paham dan mengenali setiap ego kita.
Sementara, the false self dari sisi spiritual itu seperti fiksi, hanya sebuah pikiran, ide, atau hasil konstruksi mental kita.
Sekarang pilihan ada di tanganmu.
Apakah ingin melalui jalan psikologi atau spiritual?
Apakah kamu ingin bebas dari the false self mu?
Ingin bebas dari anggapan yang membatasimu?
Seperti kamu, saya juga melalui masa-masa penuh pilihan. Bertahan dengan the false self atau membebaskan diri saya? Saya kemudian memutuskan mencari the true self saya.
Saya memilih dua jalan psikologi dan spiritual. Saya banyak belajar dari life coach, mentor, buku-buku, dan video motivasi. Berbicara ke life coach membantu saya menemukan kembali jati diri saya.
Dari rasa insecure hingga ego yang membuat saya tidak percaya diri saya tengok dan saya analisa satu per satu. Hingga saya paham, false self hanyalah sebuah fiksi, tidak
nyata, dan hanya hidup di pikiran kita. Diri kita yang membuat false self ini seakan nyata hingga mengkonversikannya menjadi aksi.
Usaha saya terbayar. Saya semakin bahagia dan bisa merasakan rasa syukur atas apa yang Tuhan berikan ke kehidupan saya.
Saya tidak sendiri. Kamu mungkin juga sedang mengalami hal yang sama. Tawaran saya, apakah kamu berani mengeksplor lapisan terdalam dalam dirimu? Kamu siap untuk membuat perubahan dalam hidup? Dan, apakah kamu memerlukan bantuan?
Jika ya, mari berbicara. Bebaskan dirimu dari false self, temukan siapa kamu sebenarnya.
Saya sedang dalam pembuatan program “Perjalanan Ke Dalam Diri”. Program ini dirancang untuk kalian yang ingin mengenal diri terdalam dan esensi kehidupan. Melepaskan diri dari belenggu ilusi yang tanpa sadar kita ciptakan dalam diri kita sendiri. Perjalanan Ke Dalam Diri bukanlah mempelajari sesuatu yang baru, tetapi justru melepaskan stigma, dogma dan false belief yang ada selama perjalanan hidup kita tanpa disadari.
Comments (3)
faisal
Thank you. 🙂
Nadya Bungsu
Fuhh, seperti terguncang isi dada ini setiap aku baca kata demi kata gejala gejala yang dipaparkan. Jika bukan karena ketetapan-Nya, untuk selamanya aku tidak akan lagi punya kesempatan untuk berubah. Sejak awal 2020 aku tahu Mba Yunita lewat kanal Youtube nya. Dan semenjak itu pula ketertarikan ku bertambah mengenai astrologi, pembacaan tarot, pertumbuhan kualitas ego lewat psikologi dan spiritual. Pun sudah lama sekali sangat ingin coaching dengan Mba, aku rasa sosok berprinsip juga tegas Mba akan mampu mendobrak pembawaan menye-menye ku saat dihadapkan suatu masalah hidup apa pun itu. In shaa Allah jika bekal materi sudah terkumpul, tak akan aku tunda lagi. See you Mba Yunita yang walaupun belum pernah bertemu tapi sudah terserap energi karismatik nya, sehat selalu Mba 🙂
Yunita Eddyanto
❤️❤️❤️